Setelah kemerdekaan Indonesia 1945 dan kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Indonesia menyatakan masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perubahan terjadi
tidak saja dalam tatanan kepemerintahan, akan tetapi juga tatanan sosial, ekonomi, politik, dan
budaya Indonesia termasuk di dalamnya Keraton Cirebon. Begitu pula fungsi tari Ronggéng Bugis tidak lagi ngamén atau bebarang menjadi telik sandi, namun beralih fungsi menjadi tari pertunjukan
yang biasanya dilakukan dalam berbagai peristiwa budaya di Kabupaten Cirebon, yakni dalam bentuk pertunjukan helaran atau arak-arakan dan pertunjukan di panggung.
       Pada tahun 1960-an muncul koreo-grafer tari Handoyo, M. Y. , ia membawa tari Ronggéng Bugis sebagai seni pertunjukan khas Cirebon dan memperkenalkannya ke tingkat propinsi Jawa Barat dan tingkat Nasional, misalnya dalam pertunjukan Gelar Budaya dalam kegiatan tahunan di
Propinsi Jawa Barat, dan acara pertunjukan di Taman Mini Indonesia Indah dalam rangka mengisi acara panorama Budaya Cirebon. Dedikasi peran Handoyo, M. Y. sebagai seniman dan kreator tari
Cirebonan membuahkan hasil yang begitu besar dalam khasanah perkembangan seni tradisional khusus tari Cirebonan.
         Tari Ronggéng Bugis di masyarakat Cirebon lebih dikenal dengan nama tari babancian. Di sanggar tari Pringgading yang dipimpin oleh Handoyo, M. Y., tari Ronggéng Bugis dijadikan sebagai materi pembelajaran tari, sehingga siswa- siswa didik dapat mengenal, memahami, dan menari tari
tersebut. Berkat kiprah Handoyo M. Y. tari Ronggéng Bugis di Kabupaten Cirebon tetap eksis.
        Menurut pengakuan Handoyo M. Y., ia belajar tari Ronggéng Bugis dari para pewaris prajurit keraton yang berasal dari Bugis yang sekarang bermukim di Kecamatan Buyut, Kabupaten Cirebon, dan kerabat Keraton Kasepuhan (Handoyo, 27 Juli 2008). Penyebaran tari Ronggéng Bugis di
Kota Cirebon diajarkan juga di sanggar Kebon Kangkung yang dipimpin H. R. Bambang Irianto dan Sanggar Sekar Pandan pimpinan Elang Heri Komara Hadi.
        Berdasarakan jumlah penarinya dalam kajian koregrafi, tari Ronggeng Bugis termasuk dalam tari kelompok. Mengapa tari kelompok, karena tari ini dilakukan oleh lebih dari 3 orang.
     Pada awal kemunculan Tari Ronggeng Bugis biasa ditarikan oleh enam hingga 12 orang yang terdiri dari satu wanita yang dijadikan komandan pada saat itu dan selebihnya prajurit laki-laki maka penentunya hanya karena tarian kelompok dan penarinya mayoritas laki-laki namun dengan perkembangan zaman, Tari Ronggeng Bugis saat ini sudah bisa ditarikan tidak hanya laki-laki dewasa, melainkan perempuan dewasa dan remaja putra-putri. Jadi disini gender berpengaruh pada Tari Ronggeng Bugis. Namun sampai saat ini setiap kali ada 62 pementasan di luar sanggar seperti undangan atau permintaan dari dinas, maka Sanggar Pringgadhing membawa penari laki-laki untuk menarikan tari Ronggeng Bugis.
      Dalam tari Ronggeng Bugis jumlah penari aslinya adalah sekitar 9-12 orang, namun jumlah ini tidak paten dalam setiap pertunjukannya. Jadi jumlah penari tari Ronggeng Bugis menyesuaikan acara atau permintaan dari pengundang. Sanggar Pringgadhing lebih menekankan pada setiap acaranya terutama undangan untuk acara-acara besar Kabupaten Cirebon, atau permintan dari Dinas Kebudayaan yaitu para penarinya laki-laki dewasa, sedangkan dalam jumlahnya itu tidak menentu. Perbedaanya mungkin dalam komposisi tarinya jika penari lebih sedikit jadi lebih sederhana, namun jika jumlah penari banyak maka akan lebih berfariasi lagi komposisinya.
     Tari Ronggeng Bugis merupakan tarian yang ditarikan oleh laki-laki yang menirukan gerak perempuan. Jumlah penari tidak menentu tergantung situasi dan kondisi acara serta tempat pertunjukan. Misalnya dalam acara kirab budaya Cirebon, dan Car Free Day, tari Ronggeng Bugis disajikan dalam bentuk helaran dan jumlah penari bisa 6-15 orang dengan jalan raya sebagai tempat pertunjukannya dan tidak ada batas antara penari dan penonton. Kemudian jika dalam pertunjukan diatas panggung tari Ronggeng Bugis bisa menampilkan penari dalam bentuk kelompok kecil maupun besar yaitu 3-15 orang. Kelompok kecil sekitar tiga sampai enam orang jika dipanggung tertutup dan jika ditampilkan di panggung terbuka yang lebih lebar seperti panggung yang ada di Gua Sunyaragi bisa mencapai 15 orang. menurut jumlah penari tari Ronggeng Bugis memang tidak menentu, namun lebih baik ditarikan kelompok besar karena pola lantai akan lebih terlihat dinamis dan bervariasi.
     Saat pertunjukan tari Ronggeng Bugis biasa mengajak penonton untuk ikut serta menari dalam salah satu gerakan didalam Tari Ronggeng Bugis dan itu salah satu yang membuat penonton selau menanti-nanti Tari Ronggeng Bugis dalam setiap pertunjukanya. Selain itu dalam setiap pertunjukan Tari Ronggeng Bugis terdapat satu kapten atau komandan untuk mengawali tarian. Untuk menjadi seorang komandan harus memiliki kelebihan yaitu kelebihan dalam membuat orang tertawa dengan tingkahnya yang lucu dan konyol namun tetap terlihat natural atau tidak dibuat-buat.
      Gerak Tari Ronggeng bugis termasuk dalam tari yang jika dilihat dari segi pola garapnya yaitu sebagai tari trdisi kerakyatan, hal ini dapat dilihat dari bagaimana bapak Handoyo (alm) menciptakan gerak-gerak yang sederhana, pola lantai yang biasa digunakan oleh tari-tari tradisi kerakyatan yaitu pola garis lengkung dan garis lurus. Meskipun Tari Rongeng Bugis sudah memiliki gerak paten, selain itu juga menitikberatkan pada keterampilan dan eksplorasi gerak penarinya. Untuk menarikan Tari Ronggeng Bugis, tidak hanya bisa dalam teknis menari, tetapi lebih ditekankan juga untuk mampu membawa emosi penonton agar ikut serta dalam menikmati tarian lewat ekspresi dramatik para penari. Pola gerak yang digunakan oleh penari Ronggeng Bugis adalah gerak tari tradisi kreasi dan bukan gerakan seperti pada tari klasik.             Meskipun tari Ronggeng Bugis ditarikan oleh penari laki-laki, namun gerak yang digunakan bukan gerakan yang gagah, kuat dan bervolume. Namun gerak dalam tari Ronggeng Bugis lebih 64 menitik beratkan pada pola-pola gerak dengan mengandalkan kelenturan gestur tubuh