Tari
Ronggeng Bugis berasal dari kata Ronggeng yang berarti Penari Wanita dan Bugis
ialah suku yang ada di daerah Sulawesi Selatan. Sejarah awal Tari Ronggeng
Bugis Cirebon merupakan bentuk pengalaman kolektif di masa lampau yang
menceritakan suatu kejadian yang diungkapkan kembali melalui gerak tari. Lebih
tepatnya Tari Ronggeng Bugis muncul pada saat Cirebon berada dibawah
pemerintahan Syekh Maulana Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama
Sunan Gunung Jati (1482 M), yang ingin menjadikan Cirebon sebagai pusat
kerajaan dan menyatakan diri sebagai kerajaan Islam yang berdaulat penuh dan
lepas dari segala ikatan Pakuan Padjadjaran. Segala macam kewajiban, seperti
bayar upeti atau pajak dan semacamnya, semuanya dihentikan. Menyadari akan
posisinya sebagai daerah kekuasaan Pakuan Padjajaran, maka Cirebon segera mempersiapkan
diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi sebagai konsekuensi
logis atas pernyataannya memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Akhirnya
setelah melalui proses perundingan yang cukup lama, pejabat keraton yang telah
terbentuk saat itu, memutuskan untuk mengetahui reaksi Pakuan Padjadjaran
terhadap tindakan Cirebon yang melepaskan diri dari daerah otoritas
pemerintahannya dengan cara mengirim
telik sandi. Paparan di atas berkaitan
dengan sebuah wawancara bersama penari tari Ronggeng Bugis bapak Heri.
Berikut kutipan wawancaranya:
“Tari
Ronggeng Bugis dalam sejarahnya yang telah saya ketahui dan oleh banyak orang,
yaitu tarian yang awalnya adalah utusan dari Sunan Gunung Jati untuk
memata-matai atau menjadi telik sandi
di kerajaan Padjajaran. Yang menjadi telik
sandi tersebut adalah orang keturunan Bugis yang sudah tinggal lama di
kerajaan Cirebon dan memilki keberanian untuk menyamar sampai pada akhirnya
pasukan telik sandi berhasil dalam
misi yang diperintahkan Sunan Gunung Jati sehingga telik sandi mendapat
penghargaan dari Sunan Gunung Jati sebagai sebuah tari tradisi Cirebon dan
diberi nama Tari Ronggeng Bugis”.
Untuk
menentukan siapa dan bagaimana telik sandi itu mesti dilakukan, tentu mendapat
kesulitan. Sebab dibutuhkan seorang pemberani, bermental kuat cerdas, serta
pandai menyamar. Keluarlah nama Sahdan seorang pemuda keturunan Bugis, akhirnya
Sahdan dengan beberapa temannya sanggup melaksanakan tugas penyamaran tersebut.
Diceritakan bahwa pemuda keturunan Bugis tersebut telah menetap di Cirebon
sejak sebelum Cirebon dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Akhirnya dengan hasil
musyawarah terdapat kesepakatan dalam suatu pasewakan agung diputuskan serta
disetujui bahwa pengemban tugas telik sandi dipercayakan kepada para pemuda
keturunan Bugis.
Upaya
penyamaran mereka menciptakan semacam tarian dengan dandanan yang dibuat dengan
menirukan dandanan wanita, mulai dari tata rias dan busananya. Atas kesepakatan
mereka bersama, pertunjukan tari yang
diciptakan dilakukan dengan cara helaran
dan menyamar sebagai pengamen. Selanjutnya sepanjang perjalanan melalui seluruh
wilayah kekuasaan Padjadjaran, mereka bergerak menari sambil membunyikan tetabuhan (musik). Berkat cara seperti
itu ternyata berhasil menyedot perhatian masyarakat di sepanjang jalan yang
dilaluinya, rombongan pengamen samaran itu sama sekali tidak dicurigai sedikit
pun oleh masyarakat maupun oleh pejabat Pakuan Padjadjaran. Bahkan saking
menariknya tarian yang mereka bawakan, rombongan telik sandi tersebut bisa dengan leluasa masuk ke keraton
Padjadjaran atas permintaan Raja. Dengan demikian telik sandi berhasil
mendapatkan informasi yang diinginkan oleh Sunan Gunung Jati. Atas jasa-jasa
pemuda keturunan Bugis tersebut, Sunan Gunung Jati merestui untuk memajukan
kesenian yang mereka ciptakan itu sebagai salah satu seni keraton, dan
selanjutnya kesenian ini dikenal dengan nama Ronggeng Bugis.
Selain
sejarah tari Ronggeng Bugis secara umum dikalangan masyarakat Cirebon Barat
seperti yang diceritakan diatas, berikut adalah perkembangan sejarah tari
Ronggeng Bugis di Sanggar Pringgadhing Plumbon Cirebon dimulai dari dedikasi
bapak Handoyo (alm) yang saat itu sebagai seorang koreografer Kacirebonan
sekaligus pendiri Sanggar Pringgadhing, beliau awalnya mengajarkan tari
Ronggeng Bugis di Keraton Kacirebonan kemudian berkat adanya dukungan dari
Petinggi Keraton maka Ronggeng Bugis mulai dikenal oleh masyarakat dan keluar dari tembok keraton. Dan mulai
diajarkan di Sanggar Pringgadhing oleh bapak Handoyo untuk menjadi seni
pertunjukan yang menarik dan diminati oleh masyarakat. Sejak saat itulah
masyarakat luas mengenal tari Ronggeng Bugis pertama kali dari Sanggar
Pringgadhing. Alasan bapak Handoyo (alm) mengangkat tari Ronggeng Bugis menjadi
seni pertunjukan yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas ialah karena beliau
menganggap bahwa tari Ronggeng Bugis merupakan bagian dari Sejarah Cirebon,
selain itu tariannya juga unik, dan lucu sehingga dapat membuat penonton tertarik
untuk menonton atau bahkan mempelajari tari Ronggeng Bugis.
Tari
Ronggeng Bugis mulai dikenal oleh masyarakat Cirebon pada tahun 1994 dan
berkembang di Sanggar Pringgadhing sampai saat ini tahun 2017 karena peran
serta bapak Handoyo dan kawan-kawannya. Selain itu para penari tari Ronggeng
Bugis di Sanggar Pringgadhing sampai saat ini masih sama yaitu penarinya
laki-laki dewasa umur 25-40 tahun dikarenakan ingin tetap menonjolkan
keistimewaan tari Ronggeng Bugis yang ada di Sanggar Pringgadhing. Hal ini juga
yang menjadi daya tarik masyarakat bahkan dinas kebudayaan dan pariwisata untuk
bekerjasama dengan Sanggar Pringgadhing dan ikut melestarikan tari tradisi yang
ada di Cirebon kususnya tari Ronggeng Bugis.
Tari
Ronggeng Bugis awalnya adalah kesenian yang ada di daerah Cangkring, pelaku
seninya bernama bapak Tiswo. Saat itu tahun 1994 akan diadakan Festival
Kesenian Jawa-Madura, untuk persiapan acara tersebut akhirnya diangkat oleh
tiga pelaku seni yaitu, pak Tiswo, Budayawan Cirebon Pak Kartani, dan yang
seniman bapak Handoyo (alm). Awalnya tari Ronggeng Bugis hanya memiliki tiga
gerakan, karena kebutuhan acara akhirnya ketiga pelaku seni bekerjasama
menggarap tari Ronggeng Bugis dan dihasilkanlah 17 ragam gerak yang sampai saat
ini digunakan oleh Sanggar Pringgadhing.
0 Komentar